ec.europa.eu |
Secara umum, menurut buku Handbook of Procurement, model pengadaan di dunia terdiri dari 3 secara garis besar. Ketiga model ini kebanyakan yang saat ini dianut oleh banyak negara. Ketiga model tersebut yaitu:
1. Full centralization, pada model ini semua bentuk pengambilan keputusan berupa tender atau pengadaan barang/jasa dihandle oleh pusat. Kebijakan dan proses pengadaan semuanya dilakukan lleh lembaga pengadaan di tingkat pusat. Cara identifikasi simple nya sederhana, dengan mengajukan pertanyaan (what, when dan how). Bila keseluruhan pertanyaan itu mengarah kepada kewenangan lembaga pusat untuk memutuskan maka bisa dipastikan, model yang berlaku yaitu sentralisasi pengadaan.
2. Full decentralization, kebalikan dari model pertama. Bila daerah (local atau province) diberikan wewenang untuk memutuskan kebijakan dan proses pengadaan secara mandiri. Maka menganut model desentralisasi. Indikatornya ialah dengan menjawab pertanyaan when, how dan what.
3. Hybrid models, model ini merupakan penggabungan dari model sentralisasi dan desentralisasi. Berupa penggabungan antaranya dengan tetap memberikan batasan kewenangan antara pusat dan daerah. Contoh pembatasan kewenangan tersebut yaitu, pusat diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan peraturan teknis mengenai pengadaan sedangkan daerah didelegasikan kewenangan mengadaakn pengadaan secara mandiri dengan membuat lembaga khusus pengadaan. Hanya saja tetap tunduk terhadap kebijakan dan peraturan teknis yang telah ditetapkan oleh lembaga pusat tersebut.
Trennya adalah meskipun banyak negara mengadopsi model hybrid, tapi beberapa diantaranya juga mendekati ke arah sentralisasi. Belum lagi memperhitungkan negara tersebut lebih cenderung ke arah anglo saxon atau kontinental. Di negara anglo saxon, yang terdiri dari banyak negara bagian, biasanya pengadaan diberikan kewenangan kepada negara bagian. Tetapi untuk hal-hal yang bersifat khusus (persenjataan) ditangani oleh unit yang berbeda di bawah menteri pertahanan. Contohnya di Amerika dengan General Service Administration (GSA). Sedangkan di negara yang berbentuk kontinental akan lebih cenderung ke arah hybrid. Contohnya Indonesia yang menggunakan model ini karena antara pembuat kebijakan dengan eksekutor berbeda dibagi antara pusat dan daerah atau K/L/D/I.
1. Full centralization, pada model ini semua bentuk pengambilan keputusan berupa tender atau pengadaan barang/jasa dihandle oleh pusat. Kebijakan dan proses pengadaan semuanya dilakukan lleh lembaga pengadaan di tingkat pusat. Cara identifikasi simple nya sederhana, dengan mengajukan pertanyaan (what, when dan how). Bila keseluruhan pertanyaan itu mengarah kepada kewenangan lembaga pusat untuk memutuskan maka bisa dipastikan, model yang berlaku yaitu sentralisasi pengadaan.
2. Full decentralization, kebalikan dari model pertama. Bila daerah (local atau province) diberikan wewenang untuk memutuskan kebijakan dan proses pengadaan secara mandiri. Maka menganut model desentralisasi. Indikatornya ialah dengan menjawab pertanyaan when, how dan what.
3. Hybrid models, model ini merupakan penggabungan dari model sentralisasi dan desentralisasi. Berupa penggabungan antaranya dengan tetap memberikan batasan kewenangan antara pusat dan daerah. Contoh pembatasan kewenangan tersebut yaitu, pusat diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan peraturan teknis mengenai pengadaan sedangkan daerah didelegasikan kewenangan mengadaakn pengadaan secara mandiri dengan membuat lembaga khusus pengadaan. Hanya saja tetap tunduk terhadap kebijakan dan peraturan teknis yang telah ditetapkan oleh lembaga pusat tersebut.
Trennya adalah meskipun banyak negara mengadopsi model hybrid, tapi beberapa diantaranya juga mendekati ke arah sentralisasi. Belum lagi memperhitungkan negara tersebut lebih cenderung ke arah anglo saxon atau kontinental. Di negara anglo saxon, yang terdiri dari banyak negara bagian, biasanya pengadaan diberikan kewenangan kepada negara bagian. Tetapi untuk hal-hal yang bersifat khusus (persenjataan) ditangani oleh unit yang berbeda di bawah menteri pertahanan. Contohnya di Amerika dengan General Service Administration (GSA). Sedangkan di negara yang berbentuk kontinental akan lebih cenderung ke arah hybrid. Contohnya Indonesia yang menggunakan model ini karena antara pembuat kebijakan dengan eksekutor berbeda dibagi antara pusat dan daerah atau K/L/D/I.
ukraviatrans.gov.ua |
Perbedaan metode ini salah satunya berkaitan dengan controling. Pemerintah tentu ingin mengefektifkan fungsi pengawasan mengingat pengadaan mengambil alokasi yang sangat besar dalam total anggaran. Sebagai ilustrasi negara yang tergabung dalam OECD sekitar 15% dari toral atau negara amerika latin sekitar 15-18% dari total anggaran digunakan untuk pengadaan barang/ jasa. Fungsi pengawasan atau controling ini juga menjadi syarat untuk menciptakan pengadaan barang/ jasa yang tepat dari segi manfaat sehingga menjadi efektif dan dari segi biaya menjadi terkendali atau efisien. Bagi negara sebesar Indonesia dengan kepulauan yang membentang dari Sabang-Merauke, penggunaan model sentralisasi tentunya akan menimbulkan masalah baru berupa pengawasan, koordinasi dan dari segi waktu akan terlalu banyak terbuang karena jarang yang terlalu jauh dengan komungkinan terjadinya hambatan berupa faktor alam dan iklim. Mungkin bagi negara kecil seperti Singapura misalnya, penggunaan model sentralistik amat dimungkinkan karena negara kecil sehingga span of controlnya lebih pendek.
Selain itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas seputar model ini. Pertama, berkaitan dengan standarisasi, harmonisasi, sumber daya manusia, knowledge dan litbang. Standarisasi pada model sentralisasi akan mempermudah pejabat pengadaan dalam melakukan tender karena barang/jasa sudah terjabarkan dengan detil spesifikasinya serta digunakan bersamaan sehingga kesalahan teknis dalam pengadaan dapat diminimalkan. Hal ini berkaitan pula dengan sebaran informasi dan pengetahuan antara pejabat pengadaan di satu daerah dengan daerah lainnya, dalam model desentralisasi. Kedua berkaitan dengan harmonisasi. Kebijakan mengenai pegadaan tentunya harus selaras dengan peraturan yang setingkat ataupun dibawahnya. Sehingga proses sinkronisasi mutlak diperlukan sebagai salah satu syarat untuk menciptakan kebijakan yang baik. Keuntungan model sentralisasi yaitu, harmonisasi hanya terjadi di tingkat pusat, sedangkan kebijakan di daerah akan mengikuti. Tetapi model desentralisasi memerlukan harmonisasi di hampir setiap level peraturan untuk memastikan tidak terjadi pertentangan antar peraturan sehingga membingungkan pelaksana teknis di lapangan.
Ketiga yaitu sumber daya manusia, model sentralisasi tidak menuntut terlalu banyak sumber daya manusia yang berkompeten dengan pengadaan barang/jasa karena segala proses pengadaan dihandle oleh lembaga yang berada di tingkat pusat, sedangkan desentralisasi memerlukan banyak ahli pengadaan yang tersebat di setiap daerah dan setiap instansi pemerintah. Tentu pertimbangan luas wilayah dan kapabilitas sumber daya manusia yang dihasilkan melaui kegiatan diklat atau pelatihan patut mendapat perhatian lebih. Jangan sampai terjadi disparitas kemampuan yang menyebabkan pelaksanaan di satu daerah dengan daerah lainya berbeda, walaupun memiliki kasus yang sama. Terakhir yaitu knowledge dan litbang. Kedua hal ini berkaitan dengan sumber informasi yang digunakan pejabat pengadaan dalam melakukan proses lelang atau penunjukan. Jangan sampai terjadi pengadaan menghasilkan barang yang secara kualitas ataupun spesifikasi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena panitia pengadaan tidak mendapatkan informasi yang cukup pada saat proses kualifikasi.
vinnova.se |
Walaupun terdapat berbagai kelebihan dan kekurangan dari kedua model antara sentralisasi dan densentralisasi, hybrid model lahir sebagai penggabungan antara keduanya. Namun demikian belum tentu hybrid model merupakan model terbaik yang dapat diterapkan pada setiap negara. Perlu telaah dan kajian lebih dalam mengenai model pengadaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sebuah negara, seperti kondisi geografis, sumber daya manusia, dana, dan sebagainya.
md sumanto-200111