Thursday, January 20, 2011

Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (1)

ec.europa.eu
Secara umum, menurut buku Handbook of Procurement, model pengadaan di dunia terdiri dari 3 secara garis besar. Ketiga model ini kebanyakan yang saat ini dianut oleh banyak negara. Ketiga model tersebut yaitu:
1. Full centralization, pada model ini semua bentuk pengambilan keputusan berupa tender atau pengadaan barang/jasa dihandle oleh pusat. Kebijakan dan proses pengadaan semuanya dilakukan lleh lembaga pengadaan di tingkat pusat. Cara identifikasi simple nya sederhana, dengan mengajukan pertanyaan (what, when dan how). Bila keseluruhan pertanyaan itu mengarah kepada kewenangan lembaga pusat untuk memutuskan maka bisa dipastikan, model yang berlaku yaitu sentralisasi pengadaan.
2. Full decentralization, kebalikan dari model pertama. Bila daerah (local atau province) diberikan wewenang untuk memutuskan kebijakan dan proses pengadaan secara mandiri. Maka menganut model desentralisasi. Indikatornya ialah dengan menjawab pertanyaan when, how dan what.
3. Hybrid models, model ini merupakan penggabungan dari model sentralisasi dan desentralisasi. Berupa penggabungan antaranya dengan tetap memberikan batasan kewenangan antara pusat dan daerah. Contoh pembatasan kewenangan tersebut yaitu, pusat diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan peraturan teknis mengenai pengadaan sedangkan daerah didelegasikan kewenangan mengadaakn pengadaan secara mandiri dengan membuat lembaga khusus pengadaan. Hanya saja tetap tunduk terhadap kebijakan dan peraturan teknis yang telah  ditetapkan oleh lembaga pusat tersebut.
Trennya adalah meskipun banyak negara mengadopsi model hybrid, tapi beberapa diantaranya juga mendekati ke arah sentralisasi. Belum lagi memperhitungkan negara tersebut lebih cenderung ke arah anglo saxon atau kontinental. Di negara anglo saxon, yang terdiri dari banyak negara bagian, biasanya pengadaan diberikan kewenangan kepada negara bagian. Tetapi untuk hal-hal yang bersifat khusus (persenjataan) ditangani oleh unit yang berbeda di bawah menteri pertahanan. Contohnya di Amerika dengan General Service Administration (GSA). Sedangkan di negara yang berbentuk kontinental akan lebih cenderung ke arah hybrid. Contohnya Indonesia yang menggunakan model ini karena antara pembuat kebijakan dengan eksekutor berbeda dibagi antara pusat dan daerah atau K/L/D/I.
ukraviatrans.gov.ua

Perbedaan metode ini salah satunya berkaitan dengan controling. Pemerintah tentu ingin mengefektifkan fungsi pengawasan mengingat pengadaan mengambil alokasi yang sangat besar dalam total anggaran. Sebagai ilustrasi negara yang tergabung dalam OECD sekitar 15% dari toral atau negara amerika latin sekitar 15-18% dari total anggaran digunakan untuk pengadaan barang/ jasa. Fungsi pengawasan atau controling ini juga menjadi syarat untuk menciptakan pengadaan barang/ jasa yang tepat dari segi manfaat sehingga menjadi efektif dan dari segi biaya menjadi terkendali atau efisien. Bagi negara sebesar Indonesia dengan kepulauan yang membentang dari Sabang-Merauke, penggunaan model sentralisasi tentunya akan menimbulkan masalah baru berupa pengawasan, koordinasi dan dari segi waktu akan terlalu banyak terbuang karena jarang yang terlalu jauh dengan komungkinan terjadinya hambatan berupa faktor alam dan iklim. Mungkin bagi negara kecil seperti Singapura misalnya, penggunaan model sentralistik amat dimungkinkan karena negara kecil sehingga span of controlnya lebih pendek.

Selain itu ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas seputar model ini. Pertama, berkaitan dengan standarisasi, harmonisasi, sumber daya manusia, knowledge dan litbang. Standarisasi pada model sentralisasi akan mempermudah pejabat pengadaan dalam melakukan tender karena barang/jasa sudah terjabarkan dengan detil spesifikasinya serta digunakan bersamaan sehingga kesalahan teknis dalam pengadaan dapat diminimalkan. Hal ini berkaitan pula dengan sebaran informasi dan pengetahuan antara pejabat pengadaan di satu daerah dengan daerah lainnya, dalam model desentralisasi. Kedua berkaitan dengan harmonisasi. Kebijakan mengenai pegadaan tentunya harus selaras dengan peraturan yang setingkat ataupun dibawahnya. Sehingga proses sinkronisasi mutlak diperlukan sebagai salah satu syarat untuk menciptakan kebijakan yang baik. Keuntungan model sentralisasi yaitu, harmonisasi hanya terjadi di tingkat pusat, sedangkan kebijakan di daerah akan mengikuti. Tetapi model desentralisasi memerlukan harmonisasi di hampir setiap level peraturan untuk memastikan tidak terjadi pertentangan antar peraturan sehingga membingungkan pelaksana teknis di lapangan.

Ketiga yaitu sumber daya manusia, model sentralisasi tidak menuntut terlalu banyak sumber daya manusia yang berkompeten dengan pengadaan barang/jasa karena segala proses pengadaan dihandle oleh lembaga yang berada di tingkat pusat, sedangkan desentralisasi memerlukan banyak ahli pengadaan yang tersebat di setiap daerah dan setiap instansi pemerintah. Tentu pertimbangan luas wilayah dan kapabilitas sumber daya manusia yang dihasilkan melaui kegiatan diklat atau pelatihan patut mendapat perhatian lebih. Jangan sampai terjadi disparitas kemampuan yang menyebabkan pelaksanaan di satu daerah dengan daerah lainya berbeda, walaupun memiliki kasus yang sama. Terakhir yaitu knowledge dan litbang. Kedua hal ini berkaitan dengan sumber informasi yang digunakan pejabat pengadaan dalam melakukan proses lelang atau penunjukan. Jangan sampai terjadi pengadaan menghasilkan barang yang secara kualitas ataupun spesifikasi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena panitia pengadaan tidak mendapatkan informasi yang cukup pada saat proses kualifikasi.  
vinnova.se

Walaupun terdapat berbagai kelebihan dan kekurangan dari kedua model antara sentralisasi dan densentralisasi, hybrid model lahir sebagai penggabungan antara keduanya. Namun demikian belum tentu hybrid model merupakan model terbaik yang dapat diterapkan pada setiap negara. Perlu telaah dan kajian lebih dalam mengenai model pengadaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sebuah negara, seperti kondisi geografis, sumber daya manusia, dana, dan sebagainya.
md sumanto-200111

Monday, January 17, 2011

Global Prospek 2011 Versi World Bank (WB)


www.tdic.or.tz
Beberapa hal yang patut menjadi refleksi perjalanan selama tahun 2010 menurut laporan World Bank mengenai prospek 2011 antara lain:
1. Aktivitas ekonomi selama tahun 2010 di hampir sebagian negara berkembang, menunjukkan tren positif atau perbaikan.
2. Kebalikannya, proses pemulihan pasca krisis di banyak negara berpendapatan besar tidak menunjukkan banyak penguatan untuk membuat suatu perubahan yang besar terhadap tingkat pengangguran.
3. Pemulihan di negara berkembang hampir semua menunjukkan perubahan yang menakjubkan yang tercermin dari ekspansi internal market.
4. Kebijakan tingkat bunga yang tinggi, pendapatan yang tinggi dan prospek pertumbuhan yang menjanjikan di negara berkembang, menghasilakan capital inflow yang tinggi terutama kepada negara berpenghasilan menengah
5. Tingkat aliran modal yang besar ke beberapa negara berpenghasilan menengah yang tidak wajar dan berpotensi merusak dan memberi tekanan terhadap mata uang
6. Negara berpendapatan rendah mengalami penurunan capital inflow pada tahun 2009 dan peningkatan yang lumayan pada 2010, merupakan cerminan dari ketergantungan terhadap stabilnya nilai Foreign Direct Invesment (FDI)
7. Pertumbuhan secara global diperkirakan akan melambat pada 2011, sebelum menunjukkan tren perbaikan pada tahun 2012.
8. Pertumbuhan yang kuat dari permintaan domestik di negara berkembang akan terus memimpin pertumbuhan ekonomi dunia

Menarik untuk mengomentari beberapa point tersebut dari kaca mata Indonesia, terkait dengan pidato pemerintah beberapa waktu lalu yang menurut beberapa toko merupakan "kebohongan" karena tidak melihat relaita masyarakat yang sebenarnya. Dengan pendapatan perkapita yang telah menembus $3000, Indonesia berada pada dua kutub antara kutub maju dan kutub bawah. Namun optimistik dari kondusifnya iklim berbisnis sangat baik sehingga hari ini Moody’s Investor Service menaikkan kredit rating Indonesia menjadi Ba1/stable outlook atau satu tingkat sebelum memasuki investment grade. Peningkatan ini merupakan hasil dari evaluasi Moody’s yang pada desember tahun lalu membuka peluang bagi Indonesia untuk naik peringkat setelah dilakukannya evaluasi. Stabilitas dan kondusifnya iklim investasi membuat derasnya arus capital inflow kedalam pasar modal. Namun perlu dicermati bahwa hal itu belum menjadi keuntungan riil bagi masyarakat selama tingkat Foreign Direct Investment (FDI) masih berada pada tingkat yang lemah untuk mendorong terjadinya multiplier terhadap ekonomi secara menyeluruh. Kabar yang menggembirakan Indonesia di awal tahun 2011.

Laporan dari world bank tersebut juga membahas mengenai kondisi di asia timur dan pasifik, termasuk Indonesia. Dikatakan bahwa Indonesia adalah termasuk negara yang terkena dampak krisis terkecil. Hal ini didorong oleh konsumsi rumah tangga yang diuntungkan oleh rendahnya inflasi dan kepercayaan konsumen terhadap sektor ekonomi. Sedangkan sektor swasta didukung oleh optimisme prospek pertumbuhan di masa depan. 

Kembali kepada hasil laporan World Bank (WB), penekanan yang menarik adalah adanya pengakuan dari entitas internasional bahwa salah satu resep Indonesia agar tidak tertular krisis finansial yang telah berlalu atau yang akan datang, salah satunya adalah karena tingginya tingkat konsumsi. Disaat negara lain masih bejibaku untuk menstabilkan ekonomi, tercatat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,9 tahun 2010, bahkan pada tahun 2009 yang merupakan puncak dari krisis finansial global Indonesia masih tetap membukukan pertumbuhan 4,5 tahun 2009 dan estimasi tahun 2011 adalah sebesar 6,2. Beberapa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur antara lain nilai ekspor komulatif dari bulan Januari-November 2010 mencapai US$140,65 miliar atai meningkat 36,34% dibandingkan periode yang sama tahun 2009 (BPS, 2010) dengan nilai ekspor nonmigas meningkat 33,81% menjadi US$115,94 miliar. Selain konclongnya nilai ekspor Indonesia, jumlah kunjungan wisman juga menunjukkan peningkatan dibandingkan periode tahun 2009. Secara komulatif dalam periode Januari-November 2010 mencapai 6,36 juta orang atau naik 11,59% dibanding tahun lalu yang berjumlah 5,7 juta orang.

Sejujurnya antara nilai ekspor dan pariwisata, keduanya merupakan faktor pendorong ekonomi. Namun demikian, efek yang diberikan untuk menstimulus lebih cepat berada pada sektor pariwisata ketimbang ekspor. Mengapa? Karena pariwisata langsung berhadapan dengan end-user yaitu wisatawan dan penyedia jasa wisata serta masyarakat sekitar yang langsugn terkena imbas positif dari menggeliatnya sektor pariwisata. Sedangkan peningkatan ekspor akan mendetingkan dampak yang relatif lebih lambat dibanding sektor pariwisata. Selain dua indikator tersebut, masih banyak indikator lain yang dirilis berbagai pihak (pemerintah ataupun non-pemerintah) yang menyatakan optimisme terhadap prospek di masa depan.

Bad-News
www.tribun.com.pk
Serentetan kabar baik yang diinterpretasikan ternyata didalamnya terdapat pula secuil potensi kemunduran yang secara akumulatif bila terakumulasi dapat membawa kemunduran terhadap kondisi yang sekarang telah ajeg. Dua berita awal tahun yang kurang baik datang dari inflasi yang dikhawatirkan meningkat akibat melonjaknya berbagai komoditas pangan nasional, seperti cabai, beras, bawang, dan bahan pangan lainnya. Sehingga ada isyu bahwa BPS akhirnya mengeluarkan perhitungan kenaikan cabai dari variabel penilaian inflasi karena kuatir terhadap volatil nya harga cabai. Berikutnya adalah kabar bahwa BI akan menaikkan subu bunga acuan BI rate dari sebelumnya yang bertahan pada level 6,5. Berita kedua ini kurang begitu mengejutkan, mengingat fungsi BI sebagai otoritas moneter, pengawas perbankan, dan mengatur dan menjaga kelancaran pembayaran. Respon kenaikan BI rate karena semakin besarnya potensi kenaikan inflasi, sehingga jangan sampai baru awal tahun atau semester awal, inflasi sudah meraung tinggi. Karena tren inflasi tertinggi biasanya terjadi pada semester kedua. Kemungkinan lain yaitu bagaimana mendayagunakan cadangan devisa Indonesia yang per Desember 2010 mencapai US$95 miliar dengan asumsi nilai tukar sebesar Rp. 9300 pada APBN-P.

Kabar kurang mengenakkan lainnya adalah akibat terjadinya pertumbuhan ekonomi yang belum diikuti perbaikan infrastruktur, dapat dilihat bahwa kemacetan terjadi dimana-mana belum lagi kerusakan jalan di daerah dan di kota besar sama saja. Fenomena ini menimbulkan kelesuan tersendiri bagi masyarakat kelas pekerja untuk berprestasi atau menampilkan kinerja pada titik minimum karena telah terlebih dahulu kehilangan stamina di jalan. Belum lagi dampaknya terhadap disstribusi barang atau peti kemas yang tingkat kerugiannya dapat ditaksir menggunakan mata uang. Seakan pemerintah bangga terhadap kenaikan penjualan kendaraan bermotor, tapi disisi lain tidak berbuat terhadap penambahan rasio jalan. Tidak aneh banyak prediksi yang mengatakan bahwa tahun 2015 Jakarta khususnya akan mengalami stagnasi di jalan, terutama pada rush hours...wuedannn..!!!!

www.ceritamu.com
Potensi berikutnya yaitu banyaknya kenaikan harga yang memicu kenaikan harga lainnya cukup mengkhawatirkan karena Indonesia cukup bertumpu pada kuatnya tingkat konsumsi masyarakat. Tidak bisa dibayangkan bila masyarakat kehilangan niat atau daya untuk membeli barang. Bagaimana ekonomi akan berputar? Seharusnya pemerintah juga memperhitungkan ini apabila ingin menaikkan harga BBM, listrik, atau air..dengan GDP yang baru naik kelas ke $3000, kita belum dapat disetarakan dengan bangsa yang maju dengan fondasi ekonomi yang kuat. Nah role play itulah yang sebaikknya dimainkan pemerintah, bukan malah memberatkan masyarakat dengan pengenaan pajak warteg, hanya dengan alasan ingin meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Akhir kata, Indonesia memenuhi segala aspek untuk menjadi negara maju dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Namun demikian perlu persiapan di berbagai pihak dan berbagai sektor agar kita tidak hanya sebentar menjadi negara maju. Fondasi ekonomi perlu dibangun dan dijaga keberlanjutannya serta inovasi dan inisiatif terobosan juga perlu dibuat untuk break-through dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Jangan berpikir pragmatis dan terlalu birokratis sehingga menyusahkan diri sendiri dan masyarakat yang tidak tahu apa-apa.

(md sumanto-170111)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com